KATALAJU.COM

Copyright © KATALAJU
All rights reserved
Desain by : KATALAJU

KLHK Segel Lima Perusahaan Terkait Karhutla di Riau, Ini Daftarnya

PEKANBARU – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) resmi menyegel lima perusahaan yang diduga menjadi pelaku kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Provinsi Riau. Kelima perusahaan tersebut adalah PT Adei Plantation Industry, PT Multi Gambut Industri (MGI), PT Tunggal Mitra Plantation (TMP), PT Sumatera Riang Lestari (SRL), dan PT Jatim Jaya Perkasa (JJP).

 

Dua dari perusahaan tersebut, yakni PT Adei dan PT JJP, sebelumnya telah dijatuhi sanksi pidana atas kasus karhutla. Bahkan, PT JJP dijatuhi hukuman membayar ganti rugi senilai Rp419 miliar atas kebakaran yang terjadi pada 2013, namun hingga kini belum menjalankan putusan pengadilan.

 

Menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau, tiga dari lima perusahaan yang disegel memiliki rekam jejak buruk terkait kasus karhutla, yakni PT Adei, PT JJP, dan PT SRL.

 

PT Adei Plantation Industry tercatat dua kali dihukum secara pidana karena terbukti melakukan pembakaran lahan. Pada 2016, Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 2042K/Pid.Sus/2015 menjatuhkan denda sebesar Rp1,5 miliar dan memerintahkan biaya pemulihan lingkungan senilai Rp15,1 miliar atas kebakaran seluas 40 hektare yang terjadi pada 2013. Kemudian, pada 2020, perusahaan kembali dihukum melalui Putusan Pengadilan Negeri Pelalawan Nomor 190/Pid.B/LH/2020/PN Plw dengan denda Rp1 miliar dan biaya pemulihan Rp2,9 miliar atas kebakaran seluas 4,16 hektare.

 

Sementara itu, PT Jatim Jaya Perkasa diwajibkan membayar ganti rugi sebesar Rp119,8 miliar serta biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp371,1 miliar sesuai Putusan Mahkamah Agung Nomor 1095 K/PDT/2018. Namun hingga kini, PT JJP tidak menunjukkan itikad baik untuk menjalankan putusan tersebut, bahkan diketahui menanam kembali kelapa sawit di area bekas kebakaran.

 

Adapun PT Sumatera Riang Lestari masuk dalam daftar 15 perusahaan yang kasusnya dihentikan melalui Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh Polda Riau pada 2016. Selain kasus karhutla, perusahaan ini juga memiliki sejumlah catatan pelanggaran lingkungan, seperti memperparah kerentanan Pulau Rupat dan Pulau Rangsang sebagai pulau kecil, merusak ekosistem gambut, tidak menjalankan kewajiban restorasi gambut, serta diduga membiarkan terjadinya kekerasan terhadap pekerja perempuan dan mempekerjakan anak di bawah umur.

 

WALHI Riau juga mengungkapkan bahwa berdasarkan analisis spasial menggunakan citra satelit Aqua dan Terra dengan tingkat kepercayaan di atas 70%, titik panas juga terdeteksi di wilayah konsesi 17 perusahaan lainnya.

 

Manajer Pengorganisasian dan Akselerasi WALHI Riau, Eko Yunanda, menyatakan bahwa berulangnya kebakaran di area kerja perusahaan mencerminkan lemahnya sistem pengawasan dan penegakan hukum terhadap korporasi. Ia menilai terdapat empat hal utama yang menyebabkan kondisi ini terus terjadi:

 

Lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku karhutla;

 

Pemerintah tidak tegas dalam mengeksekusi putusan pengadilan, seperti kasus PT JJP;

 

Minimnya pengawasan terhadap kepatuhan perusahaan dalam menjalankan perizinan;

 

Indikasi keberpihakan penegak hukum terhadap korporasi, terlihat dari nihilnya penetapan tersangka dalam kasus karhutla yang baru-baru ini terjadi di Riau.

 

“Kami mendesak penegak hukum untuk menetapkan perusahaan yang areal kerjanya terbakar sebagai tersangka. Penegakan hukum juga harus disertai evaluasi terhadap perizinan perusahaan. Korporasi yang berulang kali melanggar dan memiliki catatan pelanggaran lingkungan, seperti PT Adei, PT JJP, dan PT SRL, sudah selayaknya dicabut izinnya,” tegas Eko. (rls)

Komentar Via Facebook :